Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme Menjadi Undang-Undang
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan RUU tentang Pengesahan ASEAN Convention on Counter Terrorism (Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme) menjadi Undang-Undang. Dalam Rapat Paripurna dipimpin Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung, Selasa (20/3).
Wakil Ketua Komisi I yang membidang Luar Negeri, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengatakan peningkatkan kerja sama keamanan dengan negara yang tergabung dalam ASEAN dalam menanggulangi kejahatan terorisme di bawah payung Konvensi ASEAN mengenai Pemberantasan Terorisme yang telah ditandatangani Pemerintah, pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina, tanggal 13 Januari 2007.
Tindakan terorisme merupakan kejahatan yang bersifat lintas batas negara dan telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda. Oleh karena itu, perlunya dilaksanakan berbagai langkah pemberantasan melalui kerja sama regional. Berkaitan dengan hal tersebut, bangsa Indonesia perlu mempersiapkan diri agar dapat berperan secara optimal dalam pengembangan kerja sama di kawasan, khususnya yang terkait dengan kejahatan terorisme dan kejahatan lintas batas lainnya.
Kerja sama keamanan dalam penanganan terorisme di ASEAN diperlukan untuk mewujudkan perdamaian dan stabilitas yang dinamis di kawasan dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional Indonesia, yang pada akhirnya akan turut menyokong terwujudnya suatu Komunitas ASEAN pada tahun 2015 yang ditopang oleh tiga pilar yang saling memperkuat, yaitu Komunitas Politik Keamanan, Komunitas Ekonomi, dan Komunitas Sosial-Budaya.
Seluruh prinsip yang terkandung dalam Konvensi ASEAN mengenai Pemberantasan Terorisme antara lain memuat : menghormati kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah dan identitas nasional, tidak campur tangan urusan dalam negeri, menghormati yurisdiksi kewilayahan, adanya bantuan hukum timbal balik, ekstradisi, serta mengedepankan penyelesaian perselisihan secara damai. Selain itu, di dalam konvensi ASEAN ini secara khusus terdapat prinsip yang merupakan nilai tambah yang tidak dimiliki oleh Konvensi serupa yang memuat ketentuan mengenai program rehabilitasi bagi tersangka terorisme, perlakuan yang adil dan manusiawi, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam proses penanganannya.
Komisi I yang membidangi Luar Negeri memberikan catatan kepada Pemerintah dalam rangka pemalsanaan UU ini bahwa Upaya-upaya pencegahan, penindakan, dan pemberantasan terorisme dalam segala bentuk dan manifestasinya harus terlebih dahulu mengedepankan perangkat peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku.
Kebebasan dan keamanan individu adalah hak-hak fundamental setiap warga negara yang, selain tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun, juga bersifat tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, setiap bentuk kebijakan negara mengenai pencegahan, penanggulangan, pemberantasan terorisme harus mampu secara jelas, permanen dan serempak melindungi kebebasan dan keamanan warga negara.
RUU ini harus mampu menjadi media untuk meluruskan negative perception dunia terhadap negara dan agama yang menjadi mayoritas di negeri ini, Islam, yang selama ini terdiskreditkan oleh kejahatan terorisme yang mengembalikan citra Islam sebagai negara yang rahmatan lil 'alamin sekaligus memulihkan nama baik Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan nilai diversity dan hospitality-nya.
Kepada Pemerintah agar terlebih dahulu mempersiapkan infrastruktur dengan baik, lebih awal agar kelak dalam rangka pelaksanaan amanah UU Konvensi ini dapat mendukung operasionalisasi dengan baik demi kelancaran tugas di lapangan.
Mengingatkan kepada Pemeritah agar pengalihan isu yang dirancang oleh pihak ketiga terhadap dominasi China di Asia Selatan dan Asia Tenggara, tidak serta merta ratifikasi ini menjadi pembenaran dan pintu masuk bagi negara adidaya tertentu untuk melakukan penetrasi/invasi militernya dengan dalih melakukan tindak pelumpuhan aksi terorisme di negara kawasan ASEAN, termasuk Indonesia dengan isu agama yang menyesatkan.
Semangat meratifikasi RUU ini adalah semangat untuk mengambil bagian dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia, bukan untuk menjadi mitra dari negara atau pihak tertentu demi melancarkan agenda politiknya.
Ratifikasi RUU ini harus mampu memainkan perannya sebagai instrumen hukum yang valuable dan flexible yang bukan hanya mampu memerangi kejahatan terorisme, tetapi juga mampu memutus mata rantai sel terorisme yang ada.
SustainabilityRUU ini harus menjadi perhatian, khususnya dalam implikasinya terhadap upaya melindungi warga negara mengingat kejahatan terorisme akan terus berkembang seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Keberadaan Konvensi ini haruslah dilihat sebagai bagian dari kerja keras negara-negara di Asia Tenggara untuk mereduksi sebab maupun dampak terorisme. Namun semangat tersebut tentunya harus diletakan secara proporsional. Setiap produk kesepakatan/perjanjian internasional tidaklah serta merta menjadi aturan hukum di Indonesia, selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, terlebih jika sebagai bangsa kita telah memiliki peraturan perundangan yang serupa dengan tema tersebut. Prinsip-prinsip kesetaraan kedaulatan, integritas teritorial, yurisdiksi, dan tidak campur tangan dalam urusan negara lain merupakan inti dari setiap perjanjian internasional.
ASEAN Convention on Counter Terrorism(ACCT) ditandatangani sejak Januari 2007. Artinya ada rentang 5 (lima) tahun ratifikasi ini diajukan oleh Pemerintah ke DPR. Meski membutuhkan waktu cukup lama, diharapkan agar Konvensi membuat langkah terobosan dan membuka ruang kerja sama yang lebih luas antara Anggota ASEAN. Kerja sama tersebut tentunya dengan komitmen untuk saling tukar informasi intelijen terkait terorisme, saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana terorisme, melaksanakan kewajiban ekstradisi berkaitan dengan tindak pidana terorisme, dan adanya kerja sama antar lembaga-lembaga penegak hukum. (as)